Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Sahabat (Salim Maula Abi Hudzaifah RA.)

SALIM MAULA ABI HUDZAIFAH

(Andai Salim masih hidup, niscaya saya angkat ia menjadi amir setelahku. (Umar bin Khattab))

Salim adalah seorang budak milik Tsuwaibah bin Ya’ar, umurnya masih muda namun sudah menampakkan tanda kecemerlangan intelektual dan emosionalnya serta dibalut oleh budi pekerti yang luhur dalam kesehariannya, sehingga karna kesempurnaan sikap dan akhlaknya, akhirnya dapat menggugah hati sang majikan untuk memerdekakannya.
Tatkala Tsuwaibah mengutarakan perihal kemerdekaan Salim pada suaminya -Abi Hudzaifah bin Utbah-. Abi Hudzaifah merasa keberatan untuk memerdekakan budaknya yang masih kecil dan menyerahkan tanggung jawabnya pada diri salim yang belum dewasa.
Lalu Abi Hudzaifah membawa Salim ketempat perkumpulan orang-orang quraisy didekat Ka’bah, seraya berkata: “Saksikanlah wahai orang quraisy! Sesungguhnya saya mengadopsi Salim ini, setelah istriku memerdekakannya”.
Orang-orang quraisy berkata: “Alangkah baiknya engkau, wahai putra Utbah”.
Maka sejak hari itu, Salim dipanggil dengan sebutan Salim bin Abi Hudzaifah.
Tidak lama dari peristiwa pengasuhan Salim, terdengarlah kabar tentang terutusnya Nabi yang membawa cahaya petunjuk dan kebenaran, dan keduanya termasuk bagian dari orang-orang yang pertama menerima sinar islam.
Lalu berangkatlah keduanya menuju Rasulullah SAW. untuk menyatakan keislamannya, keduanya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Setelah keduanya masuk islam, turunlah ayat -Surat Al Ahzab ayat 5- yang melarang cara-cara adopsi Jahiliyah dan menyuruh mengambalikan nasab para anak angkat kepada bapak-bapak mereka. Akan tetapi Abi Hudzaifah merasa kesulitan untuk mencari ayahnya Salim, sebab ia diambil ketika masih kecil yang kala itu belum memungkinkan untuk mengenal ayah dan ibunya, sehingga ia dipanggil “Salim maula Abi Hudzaifah”.
Hubungan antara Abi Hudzaifah dan Salim bukan lagi status tuan dengan budak, melainkan status saudara seagama yang sama cinta pada Allah dan Rasul-Nya. Namun begitu, Abi Hudzaifah menginginkan hubungannya dengan Salim tambah erat, bukan saja saudara seagama tapi saudara seagama dan kerabat, sehingga ia menikahkan Salim dengan keponakannya.
Kemudian datanglah perintah hijrah pertama ke Habasyah, yang memaksa keduanya untuk berpisah karna agama sebab mengharuskan Abu Hudzaifah untuk ikut hijrah sedangkan Salim tetap di Mekah disamping Rasulullah, sambil mendalami Islam langsung pada sumbernya.
Tampaklah dalam diri Salim kelebihan dalam kepahaman dan mentadhabburi Al Qur’an, hingga ia termasuk salah satu dari empat orang yang dipercaya Rasul untuk diambil riwayatnya dalam qira’ah Al Qur’an. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Ambillah bacaan Al Qur’an dari empat orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abi Hudzaifah, Ubai bi Ka’ab dan Muadz bi Jabal”.
Terkenallah Salim dikalangan sahabat dalam keutamaannya dalam hafalan, pemahaman dan tadabburnya pada Al Qur’an, sehingga tatkala orang-orang islam hijrah ke Madinah, mereka menunjuk Salim untuk mengimami mereka ketika shalat, padahal diantara mereka terdapat Umar bin Khattab dan para pembesar dari golongan sahabat, dan hal ini terus berlangsung sampai datangnya Rasulullah ke Madinah.
Setelah peristiwa hijrah, Allah SWT. mentakdirkan Salim dan Abi Hudzaifah berkumpul kembali di Madinah, dan keduanya pun ikut serta dalam perang badar bersama Rasulullah.
Ketika orang-orang islam bersiap-siap untuk berperang, berkatalah Salim pada Abi Hudzaifah: “Lihatlah wahai Abi Hudzaifah, bapakmu Utbah bin Rabiah ada dibarisan depan sedang bersiap untuk melawan kaum muslimin”.
“Ya, saya melihatnya”. Jawab Abi Hudzaifah, “dan dua orang musuh Allah itu pamanku Syaibah bin Rabiah dan saudaraku Walid bin Utbah sedang berkumpul dengan bapakku. Andai Rasulullah mengizinkanku, niscaya akan aku tantang mereka untuk beradu tanding satu persatu denganku, dan akan aku kirim mereka pada calakanya kematian, atau saya yang kembali kepangkuan dan keridhaan Tuhanku”.
Ketika peperangan telah selesai, berdirilah Salim dan Abi Hudzaifah melihat korban perang, keduanya melihat Utbah ayahnya Abi Hudzaifah, Syaibah dan Walid bin Utbah mati terbunuh, lalu berkatalah Abi Hudzaifah: “Segala puji bagi Allah yang telah membahagiakan nabinya dengan kematian mereka”.
Setelah peristiwa perang badar, keduanya tetap ikut bersama Nabi dalam semua perang dibawah panji Rasul yang agung hingga Nabi wafat.
Tatkala Abu Bakar menjadi Khalifah, terjadilah perang Yamamah melawan nabi palsu Musailamah Al Kaddzab. Abu Bakarpun menyerukan perang untuk membunuh Musailamah si nabi palsu, dan berkumpullah orang islam dari segala penjuru untuk membinasakan sumber fitnah yang hampir membinasakan sinar islam.
Maka bersegeralah Salim dan Abi Hudzaifah bergabung untuk membela agama Allah serta membunuh Musailamah musuh Allah.
Lalu bertemulah dua pasukan besar nan kuat di tanah Yamamah, dan nampak dari pasukan orang islam panglima Ikrimah bin Abi Jahal dan Khalid bin Walid yang sama-sama gagah berani, begitu pula dalam pasukan orang-orang murtad nampak Musailamah yang terkenal keberaniannya.
Pada saat itu, nampaknya kemenangan ada dipihak Musailamah, karna tentaranya hampir menyandra istri dari panglima islam Khalid bin Walid.
Tatkala itu muncullah semangat juang didada para tentara islam dan tampak pulalah prajurit-prajurit yang gigin nan kuat, mereka sama-sama menjual diri kepada Allah tanpa takut mati pada hari itu dan besok.
Lalu Khalid bin Walid mengatur ulang barisan tentara, ia menyerahkan panji muhajirin kepada salim maula Abi Hudzaifah sedangkan panji Anshar diserahkan kepada Tsabit bin Qais.
Lalu tampillah Zaid bin Khattab menyemangati kaum muslimin untuk berperang, seraya berkata: “Wahai manusia! Gigitlah geraham kalian, pukul mundurlah musuh kalian, dan majulah....         Demi Allah! Saya tidak akan bicara setelah kalimat ini selamanya, sehingga Allah mengalahkan  musailamah Al Kaddzab dan tentaranya atau saya yang mati terbunuh”. Kemudian ia maju membelah barisan dan ia terbunuh.
Lalu tampillah Abi Hudzaifah, seraya memanggil: “Wahai ahli qur’an, hiasilah qur’an dengan kelakuan kalian”. Ia kemudian maju kemedan laga tanpa mundur lalu syahidlah dia.
Adapun Salim berkata kepada muhajirin: “Sejelek-jelek penghafal qur’an ialah saya, jika orang-orang islam didatangi musuh dari arah saya”. Kemudian ia maju kemedan perang sambil sambil memegang panji hingga putus tangan kanannya, lalu ia pegang panji tersebut dengan tangan kiri dan ia terus mempertahankannya sampai purus pula tangan kirinya, kemudian ia himpit panji tersebut dengan kedua lengannya hingga ia lemah dan gugurlah ia dengan berlumuran darah.
Tatkala perang selesai, Khalid berdiri disamping Salim yang bersimbah darah. Lalu Salim bertanya: “Apa yang terjadi dengan orang islam, wahai Khalid?”
“Allah memberikan mereka kemenangan, membunuh musailamah al Kaddzab serta memporak porandakan tentara dan pengikutnya”. Jawab Khalid.
“dan apa yang diperbuat oleh saudaraku, Abi Hudzaifah”. Tanya Salim.
“Ia telah kembali kepada tuhannya dengan maju tanpa mundur, lalu ia syahid”. Jawab Khalid.
“Baringkanlah aku disampingnya!”. Pinta Salim.
“Itu dia, berbantal dengan kakimu”. Kata Khalid.
Maka berlinanglah kedua mata Salim seraya berkata, “Kita bersama disini wahai Abi Hudzaifah, dan bersama disana Insya Allah.”

Kemudian gugurlah Salim maula Abi Hudzaifah.

Posting Komentar untuk "Kisah Sahabat (Salim Maula Abi Hudzaifah RA.)"