Khotbah Idul Fitri
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَللهُ أَكْبَرُ 9×، اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ جَعَلَ أَيَامَ اْلأَعْيَادِ
ضِيَافَةً لِعِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ
وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
)أَمَّا
بَعْدُ) فَياَ عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ
فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. وَاتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لاَ تَمُوْتُنَّ
اِلاَّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَدْ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، “ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
تَزَكَّى وَذَكَر اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “
Jamaah Shalat
Idul Fitri rahimakumullah,
اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ،
وَلِلَّهِ الْحَمْدُ!
Alhamdulillah,
pada hari ini kita memasuki hari Idul Fitri 1438 H. Sebagai seorang Muslim,
hari raya ini patut kita syukuri. Setelah selama satu bulan kita melakukan
ibadah puasa, hari ini merupakan momentum bagi kita untuk mengingat kembali
kepada fitrah dan hakikat jadi diri kita baik sebagai manusia sekaligus sebagai
makhluk Allah SWT.
Di dalam
Al-Quran, Allah SWT berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ الَّهِ
الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ الَّهِ ذَٰلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (QS. Al-Rum [30]: 30)
Ketika
menafsirkan ayat di atas, Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan “fitrah” adalah al-tahayyu liqubul al-haqq wa din
al-tawhid (kesiapan mental untuk
menerima kebaikan dan agama yang esa). Menganut penafsiran ini, sesungguhnya
manusia ketika lahir diliputi oleh potensi kebaikan-kebaikan. Ia dalam keadaan
baik dan berpihak pada kebaikan serta kesucian. Ia memiliki hati suci dan tidak
mau untuk dikotori. Inilah sesungguhnya potensi dasar yang dimiliki oleh
manusia. Oleh karenanya, jika ada tekanan terhadap hak-hak kemanusiaan maka
sesungguhya ia memiliki potensi untuk melakukan perlawanan. Namun demikian,
potensi kesucian yang dimiliki manusia seringkali terkikis oleh gangguan dan
rongrongan terutama dari luar dirinya. Kondisi lingkungan keluarga dan
masyarakat sosial lainnya turut memberikan andil terhadap pengikisan potensi
kefitrahan. Oleh karena itu, orang yang fitrah sesungguhnya adalah orang yang
mampu membentengi diri dari godaan-godaan yang tidak baik.
Dalam konteks
ini, ibadah puasa merupakan sarana yang diberikan oleh Allah agar manusia mampu
mempertahankan kefitrahannya itu. Ibadah puasa mengajarkan kepada kita agar
menghilangkan atau meminimalisasi nafsu-nafsu kemanusiaan dan meneladani
sifat-sifat ketuhanan. Ibadah puasa pun mengisyaratkan agar manusia senantiasa
agar dapat melakukan yang terbaik, ikhlas, jujur dan nilai-nilai kebaikan
lainnya. Jika manusia mampu melakukan pesan-pesan moral ibadah puasa itu dalam
kehidupannya, maka layaklah ia berada dalam kefitrahannya dan mendapatkan
predikat muttaqin. Mudah-mudahan, kita semua yang hadir di tempat ini termasuk
di dalamnya, amin.
Jamaah Shalat
Idul Fitri rahimakumullah
Sebagai
khalifah, manusia adalah makhluk yang diberi kepercayaan oleh Allah Swt. untuk
memakmurkan bumi dan alam semesta ini. Relasinya adalah manusia dengan sesama
manusia dan dengan alam. Firman Allah menyatakan:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي
الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS al-Baqarah [2]: 30)
Sebagaimana
makna asal katanya, khalifah di sini dipahami sebagai wakil Tuhan untuk
mengurus, mengelola, mengayomi, memakmurkan, dan memanfaatkan segala isi yang
ada di muka bumi. Di samping itu, fungsi kekhalifahan ini juga menegaskan
secara meyakinkan akan terbentuknya tatanan pranata sosial yang adil,
demokratis, setara, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Antara satu
dengan yang lainnya memiliki relasi yang sama besar dan sama kuat. Di antara
mereka tidaklah dianggap sebagai subordinasi. Oleh karena itu, secara
historis-sosiologis kehidupan keduniaan harus didasarkan atas kevalidan secara
rasional. Jika diwujudkan dalam bentuk gambar maka tugas kekhalifahan ini akan
membentuk garis horizontal, ujung satu dengan yang lainnya adalah manusia yang
memiliki relasi kesejajaran.
Dalam Islam,
kedua fungsi di atas harus dapat disinergikan secara seimbang. Tuntutan
kehambaan harus dapat diwujudkan secara seimbang dengan tuntutan kekhalifahan.
Tidak dianggap sebagai orang yang baik (insan kamil) jika ia hanya mampu
menjalankan fungsi-fungsi kehambaannya, sementara fungsi sosial-kemanusiaan
terbengkalai. Demikian juga sebaliknya, bukanlah orang yang baik jika ia hanya
mementingkan tugas-tugas kekhalifahan sementara tugas kehambaannya tidak
diaktualisasikan. Dengan demikian, fitrah manusia adalah menjalankan
tugas-tugasnya dengan sukses baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah
di muka bumi secara seimbang.
Jamaah Shalat
Idul Fitri rahimakumullah,
اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ،
وَلِلَّهِ الْحَمْدُ!
Banyak sekali
sindiran Allah Swt. kepada orang yang hanya memenuhi salah satu tugas dengan
mengabaikan tugas lainnya. Misalnya dalam surat al-Mâ’ûn dilontarkan celaan
kepada orang-orang yang mengerjakan shalat tetapi suka menghardik anak yatim
dan tidak mau peduli kepada orang miskin. Orang seperti ini dijuluki pendusta
agama (yukadzdzibu bid-dîn). Allah berfirman:
أرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١) فَذَلِكَ
الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢) وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
(٣)فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (٤) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (٥)
الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (٦) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (٧)
Artinya: [1] Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama? [2] Itulah orang yang menghardik anak
yatim, [3] dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. [4] Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, [6] orang-orang yang berbuat riya, [7] dan enggan (menolong dengan)
barang berguna. (QS al-Mâ’ûn [107]: 1-7)
Orang seperti
ini hanya melakukan tugas kehambaan saja dalam bentuk ibadah mahdah, tetapi
ibadah sosial dia lalaikan. Meski mengerjakan shalat dan menyembah Allah, dia
akan mengalami celaka di akhirat nanti, sebab dia lupa akan makna shalatnya.
Dia beribadah hanya secara formalistik, tetapi tidak secara substansialistik.
Dalam kehidupan sehari-hari, dia shalat tetapi lisannya tidak dijaga, telinga
tidak diperhatikan, mata berkeliaran ke mana-mana, kaki melangkah ke jalan yang
tidak dibenarkan, pemikiran menyalahi aturan. Ini sindiran yang luar biasa dari
Allah lewat surat al-Mâ’ûn ini.
Oleh karena
itu, di dalam Islam, ritual ibadah selalu memiliki dua hal secara integral:
formalistik dan substansialistik Tidak ada ibadah dalam Islam yang hanya
dianjurkan secara aspek formalistik semata. Antara formalistik dan
substansialistik harus dilakukan secara seimbang. Dalam kasus ibadah puasa,
juga demikian. Hadis Nabi menyatakan:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ حَظٌّ مِنْ صَوْمِهِ إِلَّا
الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
Artinya: Betapa
banyak orang yang berpuasa, dia tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali
lapar dan haus.
Orang yang
melakukan ibadah puasa tidak mendapatkan balasan apapun disebabkan dirinya
tidak mampu membangun harmoni dalam kehidupan sosialnya. Pikiran, gerakan,
lisan, dan anggota tubuh lainnya tidak terjaga dari perilaku destruktif.
Jamaah Shalat
Idul Fitri rahimakumullah,
Sesungguhnya
banyak cara untuk dapat memperkuat dan memperteguh potensi kefitrahan itu, di
antaranya adalah menghilangkan atau meminimalisasi nafsu-nafsu kemanusiaan dan
meneladani sifat-sifat ketuhanan. Jika Tuhan Maha Pengampun terhadap semua
hamba-hamba-Nya maka kitapun sedikit demi sedikit memberikan keikhlasan dalam
memberikan ampunan kepada orang-orang yang telah menyakiti kita. Jika Tuhan
Maha kasih dan sayang terhadap hamba-Nya maka kitapun belajar mengasihi dan
menyayangi orang-orang di sekitar kita.
Diceritakan
dalam salah satu hadits Nabi SAW. Ada 2 orang di akhirat yang sama-sama tidak
masuk surga. Si A adalah orang yang berlumuran dosa sehingga kebaikannya itu
tidak dapat mengimbangi dosanya itu. Sedang si B adalah orang yang memiliki
kebaikannya hampir mengimbangi dosanya. Jika ada satu kebaikan lagi, niscaya
kebaikannya itu lebih banyak. Lalu, si A dengan penuh ketulusan dan keikhlasan
demi solidaritas dan kasih sayang terhadap sesamanya, mengajukan diri,
“Ambillah satu dari kebaikanku untuk kawanku ini. Toh hal ini tidak akan mengubah
nasibku”. Mendengar itu Allah berkata: ”Atajudu wa ana al-jawwad al-karim”
(Apakah Engkau akan berbuat baik, sedang Akulah Yang Maha Pengasih lagi
Pemurah). Akhirnya, Allah memerintahkan malaikat untuk memasukkan kedua hamba
itu ke dalam surga. Si B dimasukkan ke dalam surga dikarenakan nilai
kebaikannya melampaui dosanya, sedangkan si A disebabkan karenanya
solidaritasnya yang tinggi terhadap sesama.
Dari cerita
ini, pelajaran yang dapat kita tarik di antaranya adalah bahwa faktor penentu
sesorang masuk surga atau neraka atau mempertahankan kefitrahan itu
sesungguhnya tidak hanya sema-mata didasarkan atas faktor militansi keimanan
secara personal kepada Tuhannya semata, tetapi juga kepeduliaannya terhadap
nasib sesama.
Jamaah Shalat
Idul Fitri rahimakumullah,
Demikianlah,
semoga Allah menerima semua ibadah Ramadan kita dan sholat id yang baru saja
kita tegakkan. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan lahir dan batin kepada kita
sehingga tugas-tugas yang telah diamanahkan kepada kita, terutama tugas
kehambaan dan kekhalifaan itu, dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amin
ya Rabbal Alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَذِكْرِ اْلحَكِيْمِ.
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.
Khutbah II
اَللهُ أَكْبَرُ 7×،
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ
لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ
"إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا".
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ
وَأًصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. وَعَلَيْنَا مَعَهُمْ
بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِماَتِ,
وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ, اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَاضِيَ اْلحَاجَاتِ.
رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِاْلحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ
اْلفَاتِحِيْنَ. رَبَّنَا أَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهىَ عَنِ اْلفَحْشَاءِ
وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا
اللهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Posting Komentar untuk "Khotbah Idul Fitri"